Edi, Presiden Mahasiswa Politeknik Negeri Sambas (Poltesa) Sambas. |
Sambas - Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang secara resmi akan dinaikan menjadi 12 persen per 1 Januari 2025, mendapat perhatian Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Poltesa Sambas. Presiden Mahasiswa Poltesa, Edi mengungkapkan, kepastian kenaikan PPN menjadi 12 persen tersebut, telah diumumkan oleh pemerintah dalam konferensi pers bertajuk Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan, yang telah digelar di Jakarta, Senin (16/12) lalu.
"Walaupun yang kena PPN hanya Barang Kena Pajak (BKP) dengan Jasa Kena Pajak (JKP), kebijakan seperti ini tidak sesuai diberlakukan oleh negara yang sedang lemah ekonominya," ujar Edi, Senin (30/12/2024).
Dia mengatakan, Upah Minimal Regional (UMR) yang rendah, banyak pengangguran di kalangan gen Z, ditambah lagi lonjakan kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat yang mengalami krisis ekonomi. Aka memicu kenaikan inflasi, dan menyebabkan daya beli akan makin melemah.
"Pajak yang semula dari 11 menjadi 12 persen dengan kenaikan 1 persen, jika di kaitkan dengan nominal persenan akan sedikit. Akan tetapi jika konteks nya adalah ekonomi. Maka pengaruhnya besar sekali dan akan berdampak besar kepada masyarakat," kata Edi.
"Sedangkan ekonomi Indonesia sekarang sedang tidak baik-baik saja, lalu ditambah dengan kenaikan PPN 12 persen, akan berpotensi besar mengurangi pelaku usaha mirko yang ada di Indonesia," katanya.
Edi membandingkan negara maju dengan PPN yang tinggi.
"Contohnya Brazil 17 persen, Afrika Selatan 15 persen, India 18 persen, Turki 20 persen dan Filipina 12 persen, adalah perbandingan yang tidak adil karena kekuatan ekonomi tidak setara.
PPN di negara tersebut tinggi karena memang daya beli negara tersebut bagus, ekonominya stabil, dan inflasi juga relatif terkendali," kata Edi.
Jika pemerintah tetap ingin menaikan PPN 12 persen kata Edi, hal tersebut akan memicu dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi.
"Seperti kita ketahui, daya beli masyarakat sedang menurun. Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen ini juga berdampak signifikan pada kalangan bawah. Contohnya adalah peningkatan beban biaya hidup yaitu harga barang dan jasa naik," kata Edi.
"Dampak signifikan yang terjadi adalah pengurangan daya beli, peningkatan kemiskinan, kesulitan akses barang dan jasa dan juga pengaruh pada kualitas hidup," katanya.